SIARANNEWS.COM —— Lembaga Sensor Film(LSF) menyelenggarakan sosialisasi budaya sensor mandiri dengan tajuk “Memajukan Budaya, Menonton Sesuai Usia”. berlangsung di ball room Hotel Ratih Polewali, Kamis 13 Juni 2024.
Sosialisasi sensor mandiri ini bekerjasama dengan perguruan tinggi Universitas Assyariah Mandar (Unasman), dihadiri sejumlah perwakilan OPD Pemkab Polman, perwakilan sekolah menengah atas, tokoh masyarakat, penggiat film dan jurnalis.
Dalam sosialisasi ini, LSF menghadirkan tiga narasumber yakni Ketua Komisi Organisasi Asosiasi televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ngayadi Sumono, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan(Disdikbud) Sulbar Mithhar Thaha Ali dan Ketua Subkomisi Bidang Dialog LSF RI, Noorca M Massardi.
Ketua LSF RI, Rommy Febri Herdiyanto mengatakan setiap jam terdapat kurang lebih satu juta konten baru bermunculan di internet, isinya bermacam-macam, mau yang baik, buruk, fakta maupun yang fitnah, sebab itu, tujuan sosialisasi sensor mandiri ini agar masyarakat mampu memilih serta memilah tontonan sesuai dengan kategori usia. ” enam tahun ini, LSF keliling menyambangi masyarakat dari kota ke kota kampanyekan sensor mandiri, di internet itu biasanya tidak ada saringan, disinilah perlunya melindungi anak dan remaja kita dari dampak negatif internet, ” jelasnya.
Romi membeberkan permasalahan saat ini, di tengah kemajuan digitalisasi yang begitu pesat, LSF tak mampu menyensor seluruh tayangan film. Terutama yang tayang di berbagai kanal platform streaming Over The Top (OTT). sehingga peranan orang tua sangat penting dalam mengawasi penggunaan media sosial anak dan klasifikasi tontonan sesuai usianya,” secara mandiri kita harus bisa memfilterisasi film yang ingin kita tonton. Termasuk kepada anak-anak kita. ” terangnya.
Selain itu, Romi menyampaikan budaya sensor mandiri merupakan program prioritas nasional untuk meningkatkan kualitas literasi tontonan sesuai klasifikasi usia penonton, Hal itu menjadi fokus LSF untuk mengajak masyarakat menjadikan menonton sebagai budaya dalam memilih tontonan, ” Kalau media sosial dan jaringan internet, LSF tidak bisa masuk kesana, itu urusan utamanya Kementerian Kominfo, karena aturan internet ada pada Direktorat Jenderal Aplikasi, Telekomunikasi dan Informatika, ” bebernya.
Ketua ATVSI Ngayadi Sumono menjelaskan gerakan budaya sensor mandiri bertujuan meningkatkan literasi media dan digital masyarakat, sebab itu perlu dukungan dari setiap regulator baik LSF, KPI, BPOM, Kemendikbud, produsen film, serta seluruh pemangku kepentingan lainnya, ” sebagai mata rantai terakhir dari ekosistem industri media, Masyarakat diharapkan memiliki kesadaran melakukan sensor mandiri, dengan memilih dan memilah konten yang dikonsumsi sesuai kaidah hukum, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat,” ujarnya.
Ditempat yang sama, Rektor Unasman Chuduriah Sahabuddin mengapresiasi LSF RI yang menjalin kerjasama dengan Unasman, utamanya dalam mensosialisasikan budaya sensor mandiri. Kolaborasi antara Unasman dan LSF ini bukti perguruan tinggi ikut memberikan perhatian ke dunia sineas di daerah ini, termasuk mendorong budaya sensor mandiri, ” dalam upaya sosialisasi gerakan nasional sensor mandiri, Sebagai institusi pendidikan kami sangat mendukung LSF, ” harapnya.
Ketua Subkomisi Bidang Dialog LSF RI, Noorca M Massardi menjelaskan LSF memiliki beberapa tugas dan kewenangan, antara lain penyensoran film yakni meneliti, menilai, dan menentukan kelayakan serta klasifikasi usia penonton film, pemantauan, sosialisasi tentang LSF dan sensor mandiri. ” Hal-hal sensitif pada film antara lain, kekerasan verbal dan nonverbal, perjudian, penggunaan narkoba, pornografi, perundungan, provokasi, sara, pelecehan, dan penodaan agama. ” ucapnya.
Sementara Kepala Disdikbud Sulbar Mithhar Thaha Ali menuturkan sensor film selalu menjadi topik yang kontroversi, terutama ketika berbenturan dengan nilai-nilai budaya kearifan lokal. Di Sulbar, di mana keberagaman budaya dan tradisi masih sangat kuat, sensor film perlu memainkan peran penting dalam menjaga kelestarian nilai-nilai tersebut. ” Namun, seiring berkembangnya teknologi dan akses digital, tantangan baru muncul dalam mempertahankan keseimbangan, antara kebebasan berekspresi dan pelestarian budaya lokal. ” pungkasnya.(Algaz)